MA Perkuat Haris-Fatia Bebas, Pengacara Singgung Peran Luhut di Papua
26 September 2024, 09:10:26 Dilihat: 147x
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum Haris Azhar dan Fatiah Maulidiyanty menilai Mahkamah Agung (MA) telah menjaga muruah kebebasan sipil.
Hal itu disampaikan TAUD merespons putusan kasasi MA yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Haris dan Fatia.
"Melalui putusan ini, kami menilai Mahkamah Agung telah turut menjaga marwah kebebasan sipil yang menjamin sekaligus menekankan bahwa warga negara memiliki hak untuk memberikan kritik terhadap pejabat publik tanpa harus khawatir dipidana," ujar Anggota TAUD Asfinawati melalui keterangan tertulis, Rabu (25/9).
Asfin berpendapat putusan kasasi tersebut juga menandakan pentingnya perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan sebagaimana dikenal dengan konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).
Tak hanya itu, putusan dimaksud sekaligus telah menyalakan harapan bagi orang-orang yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan khususnya di Papua.
Singgung peran Luhut
Asfin turut menyinggung putusan di tingkat pertama di mana majelis hakim mengakui beberapa hal yang diungkap dan telah menjadi fakta persidangan seperti ada konflik kepentingan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait praktik pertambangan di Papua.
Fakta tersebut dilihat dari penjajakan bisnis anak perusahaan Luhut yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining.
Dalam persidangan pun terbukti Luhut sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahun mendapatkan laporan keuangan perusahaan, sehingga mustahil tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua.
"Oleh karena hal tersebut di atas, kami memandang telah terdapat dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan serta jejaringnya," ucap Asfin.
Ia pun meminta aparat penegak hukum segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait dugaan pelanggaran hukum tersebut. Lebih jauh, tutur Asfin, putusan kasasi sudah sepatutnya menjadi acuan bagi aparat penegak hukum untuk memulai investigasi konflik kepentingan Luhut.
Selain itu, pemerintah juga harus secara serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi berdasarkan kajian cepat yang berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua."
"Terkait tabiat pejabat publik seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang melakukan kriminalisasi terhadap penelitian, pendapat, dan ekspresi yang sah, selain pada dasarnya seharusnya penuntutan tidak dapat dilakukan, maka merujuk Pasal 314 KUHP, Luhut tidak lagi bisa melaporkan orang yang menyebut dia memiliki konflik kepentingan atau lebih khusus bermain tambang di Papua," ungkap Asfin.
"Dan tidak hanya Luhut, seluruh pihak yang ada dan disebut dalam riset kajian cepat yang kemudian dikuatkan dalam putusan juga tidak dapat melakukan pelaporan pidana pasal penghinaan," sambungnya.
Terakhir, Asfin menjelaskan putusan kasasi terhadap Haris dan Fatia sudah semestinya menjadi yurisprudensi bagi majelis hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili kasus-kasus kriminalisasi terhadap para aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup.
Berdasarkan catatan TAUD, Asfin menuturkan masih terdapat berbagai kasus kriminalisasi serupa seperti Daniel Fritz Tangkilisan selaku pejuang yang berupaya melestarikan Karimunjawa, Muhriyono seorang petani Pakel yang merebut lahannya karena dirampas pihak swasta hingga Sorbatua Siallagan seorang ketua masyarakat adat yang melawan perampasan tanah adat di Simalungun hingga kini masih terus memperjuangkan keadilan.
"Atas kasus-kasus tersebut sudah sepatutnya para majelis hakim yang mengadili kasus kriminalisasi aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup berani memutus bebas sebagaimana dalam perkara Fatia dan Haris," ucap Asfin.
Sebelumnya, MA menguatkan putusan majelis hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang membebaskan Haris dan Fatia.
Keduanya divonis bebas karena dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan jaksa dalam Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 14 ayat 2 jo Pasal 15 UU 1/1946, dan Pasal 310 KUHP. Setiap Pasal tersebut disertai dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Saat itu, majelis hakim pengadilan tingkat pertama menilai kata 'lord' di kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut bukan dimaksudkan sebagai penghinaan.
Perkara nomor: 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim dan 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim diadili oleh ketua majelis hakim Cokorda Gede Arthana dengan hakim anggota Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin.