Sempat Mangkrak, Ini Nasib Kereta Cepat China di Tetangga RI
17 April 2023, 10:22:27 Dilihat: 554x
Jakarta, Universitas Narotama -- Pemerintah Thailand terus mengegnjot pembangunan jalur kereta cepat yang akan menghubungkan Bangkok dengan Kunming, China. Bahkan, Negeri Gajah Putih berencana membongkar salah satu stasiun kereta api tertua di negara itu.
Salah satu stasiun lama yang berbaris untuk dihancurkan adalah di Nakhon Ratchasima, kota utama di Timur Laut. Stasiun itu diresmikan oleh Raja Rama V pada tahun 1900.
Menurut Perusahaan Kereta Api Negara Thailand, stasiun itu akan digantikan dengan stasiun baru yang berukuran 16 kali lebih besar. Stasiun itu akan dibangun dari kaca dan baja.
Namun, ada penolakan dari juru kampanye lokal yang tidak ingin melihat sepotong sejarah Thailand itu dirobohkan oleh bulldozer. Mereka masih terus berupaya agar stasiun lama tidak dihilangkan.
"Kami tidak menentang proyek kereta berkecepatan tinggi, tetapi kami ingin menunjukkan bahwa yang lama dan yang baru dapat hidup berdampingan," kata Werapol Chongjareonjai, ketua asosiasi arsitek Siam di Timur Laut kepada AFP, Rabu (12/4/2023).
Werapol sendiri ingin mengubah lokasi tersebut menjadi tempat wisata dengan menggeser sejumlah pilar sejauh beberapa meter. Ini nantinya akan membuat stasiun baru dapat dibangun berdampingan dengan yang lama.
Sebelumnya, penghancuran sebenarnya akan dimulai pada awal tahun ini tetapi Werapol dan rekan-rekan aktivisnya berhasil menundanya. Ia mengaku akan memanfaatkan pemilu Mei mendatang untuk menekan para kandidat.
"Kami akan mencoba memanfaatkan pemilu untuk berbicara dengan kandidat," tambahnya.
Jalur Kereta Cepat senilai US$ 5,4 miliar (Rp 80 triliun) bertujuan untuk menghubungkan Bangkok ke Kunming di China melalui Laos pada tahun 2028. Di wilayah Thailand, ruas jalur rel kereta cepat itu akan membentang sepanjang 600 km.
Saat jalur tersebut selesai, kereta buatan China akan beroperasi dari Bangkok ke Nong Khai, di perbatasan Sungai Mekong dengan Laos, dengan kecepatan hingga 250 km/jam.
Sementara itu, proyek kereta ini sendiri juga diketahui mengalami penundaan. Ini disebabkan Rezim junta berkuasa yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Prayut Chan-o-Cha, yang mendorong hubungan yang lebih dekat dengan China, mendapatkan penolakan dari beberapa pihak yang khawatir bahwa hal ini akan membuat Thailand tak mampu menyeimbangkan hubungannya geopolitiknya.
Akhirnya, Prayut menandatangani kesepakatan dengan catatan bahwa Thailand akan menutupi seluruh pengeluaran proyek. Namun ia setuju untuk menggunakan teknologi yang direkomendasikan China.
Benjamin Zawacki, penulis 'Thailand: Shifting Ground between the US and a Rising China', mengatakan penundaan yang lama menunjukkan bahwa Bangkok kurang tertarik pada proyek tersebut dibandingkan Beijing, khawatir akan terseret terlalu jauh ke dalam jaringan Belt and Road.
"Fakta bahwa ini memakan waktu lama adalah beberapa bukti bahwa warga Thailand tidak terlalu antusias," katanya.
Utang yang tinggi ke China telah menjadi kekhawatiran terus-menerus bagi negara-negara yang terlibat dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang didanai Beijing.
Profesor Ekonomi di Universitas Chulalongkorn Bangkok, Suthiphand Chirathivat, mengatakan penundaan tersebut telah membantu Thailand mengambil alih proyek kereta api tersebut.