Sudah lama kita dibuat terpukau dan dimanjakan oleh film-film Hollywood. Sebagai mercusuar perfilman dunia, Hollywood telah melahirkan bintang-bintang yang menjadi idola jutaan pemirsa di muka bumi. Namun barangkali tidak banyak yang tahu bahwa di era 1930-an, seorang artis Indonesia asal Jawa telah menancapkan kaki di lumbung perfilman Amerika tersebut.
Dialah Dewi Dja, artis Indonesia pertama yang go international lewat peran yang dia mainkan di film-film “bercap” Hollywood. Di zamannya, Dewi Dja merupakan mega bintang yang digandrungi oleh kalangan penikmat film tanah air.
“Dewi Dja inilah artis Indonesia pertama yang go to Hollywood,” demikian tutur sutradara ternama Riri Riza dalam sebuah diskusi kecil di Kantor Kementerian Luar Negeri, Pejambon, Jakarta, Kamis (16/2/2012) malam.
Diskusi malam itu berlangsung cukup santai. Meski digelar di sebuah ruang rapat milik Direktorat Jenderal Multilateral yang biasanya digunakan untuk membahas isu-isu “berat,” kesan formal tidak begitu terasa. Sekitar 25 orang duduk melingkari deretan meja berbentuk U dengan ujung menghadap ke layar.
Direktur Kerja Sama Teknik (KST), Siti N. Maulidiah atau akrab disapa Ibu Nining, membuka dengan sambutan singkatnya. Setelah itu forum pun bergulir sealamiah air mengalir.
Kepiawaian Riri menghipnotis forum rasanya tidak di bawah kepiawaiannya menghipnotis pemirsa dengan film-film besutannya. Selama lebih dari satu jam dia bertutur, para peserta dibuat terpukau dengan presentasinya yang luar biasa. Bagi Riri, film bukan semata-mata hiburan, melainkan merupakan identitas suatu masyarakat atau bangsa yang dicerminkannya. Pada saat yang sama, film juga menjadi alat bagi suatu bangsa untuk meneguhkan jati dirinya.
Tengoklah film “Eulis Atjih” yang diputar September 1927. Dalam poster promosi film ini tertulis “liat bagaimana bangsa Indonesia tjoekoep pinter maen di dalem film, tiada koreang dari laen matjem film dari Europa ‘atawa Amerika.” Satu tahun sebelum Sumpah Pemuda dideklarasikan, film ini sudah mengimajikan sebuah bangsa bernama Indonesia. “Film ini sudah membentuk bangsa ini bahkan sebelum kita merdeka,” tutur Riri.
Sebelum era 40-an, film-film Indonesia dibuat oleh orang China atau Eropa. Namun mulai tahun 40-an, bermunculan lah sineas-sineas pribumi. Tokoh paling utama adalah Usmar Ismail yang namanya diabadikan menjadi Pusat Perfilman Usmar Ismail di Jl HR Rasuna Said, Jakarta. Film Usmar berjudul “Citra” yang dirilis tahun 1947 menjadi asal muasal nama Piala Citra, penghargaan bergengsi yang diberikan kepada insan perfilman Indonesia layaknya Oscar untuk Hollywood.
Sedangkan hari pertama syuting filmnya yang berjudul “Long March,” yang bertepatan dengan tanggal 30 Maret, sampai saat ini diperingati sebagai Hari Film Nasional di Indonesia. Premiere film ini disaksikan oleh Presiden RI kala itu, Bung Karno.
Film dan Politik
Di era 50-an, saat terjadi pergolakan politik yang melibatkan pertentangan antara kaum kiri dan non-kiri, film menjadi salah satu medan kontestasi yang diperebutkan. Bachtiar Siagian adalah seorang sineas ternama kala itu yang berhaluan kiri. Bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI), Bachtiar memproduksi film-film yang syarat dengan muatan kekirian, seperti Melati Sendja (1956) dan Tjorak Dunia (1956).
Sementara di kubu yang lain ada Usmar Ismail dan Asrul Sani yang merupakan seniman Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama (NU) yang antikomunis. Persinggungan film dengan politik era Prahara Kebudayaan itu masih bisa dilihat jejaknya sampai sekarang.
Di Sinematex yang merupakan pusat data, dokumentasi, dan informasi perfilman Indonesia di bawah Yayasan Perfilman Usmar Ismail, arsip film-film karya sineas Lekra sangat tidak terawat, bahkan kebanyakan tidak lengkap. Ini berbeda dengan film-film karya para sines non-kiri, seperti Usmar Ismail dan Asrul Sani, yang disimpan secara sangat baik dan terawat.
Fakta ini tak lepas dari peran Orde Baru yang secara sadar dan sengaja memberangus segala hal yang berbau kiri. “Dari dulu film selalu dekat dengan politik dan kekuasaan,” simpul Riri. Kedekatan film dengan politik dan kekuasaan juga bisa disimak dari film garapan Arifin C. Noer, salah satu sineas terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini.
Dari tangannya lah film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang merupakan propaganda sakti Orde Baru hadir di hadapan seluruh penduduk negeri ini. Saat film berguna untuk menyingkirkan suatu narasi, di saat yang sama dia juga bermanfaat untuk menghadirkan narasi yang lain. Dan hal itu disadari betul oleh Orde Baru.
Sutradara Riri Riza memberi presentasi kepada para diplomat muda Indonesia
Film dan Ekspresi Masyarakat
Sejarah perfilman Indonesia adalah sejarah pengartikulasian ekspresi masyarakat ke dalam gambar bergerak. Dalam konteks itu, film hadir sebagai manifestasi yang kurang lebih jujur dari apa yang tengah bergejala di masyarakat. Karena itulah tema-tema yang diangkat dalam film pun akan selalu bisa dilacak muasalnya dari kondisi sosial politik yang melingkupinya.
“Film is a window to and a mirror of a nation,” kata sutradara Gie, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi ini. Tengoklah misalnya film-film besutan sutradara bertalenta Nyak Abbas Akup.
Alumnus University of Southern California (USC) Amerika Serikat ini hadir dengan film-film yang boleh dibilang cukup menampar namun sekaligus jujur dalam mengekspresikan realitas masyarakatnya. Film Inem Pelayan Seksi (1974) besutannya, yang dilanjutkan dengan Inem Pelayan Seksi 2 dan Inem Pelayan Seksi 3, merupakan satir yang sarat dengan muatan kritik sosial, termasuk kritik terhadap Persatuan Bangsa-bangsa (lewat PBB yang diartikan sebagai Partai Babu-babu, partai yang didirikan Inem).
Pada masa itu film tersebut menjadi hits dan meraih sukses komersial yang luar biasa.
Film dia yang lain, Drakula Mantu (1974), dengan cermat menangkap ekspresi masyarakat Indonesia yang gandrung akan takhayul dan menghadirkannya dengan balutan komedi yang satir. “Film selalu mencoba menangkap ekspresi seni rakyat. Karena itu tidak mengherankan jika tema-tema horor dan seks tetap eksis sampai sekarang,” kata Riri.
Sutradara Riri Riza memberi presentasi kepada para diplomat muda Indonesia
Film dan Diplomasi
Dalam dunia diplomasi, film memainkan peran penting yang barangkali selama ini masih kurang disadari. Ekspansi budaya yang disajikan lewat film jauh lebih efektif guna mengenalkan suatu negara dibanding media apapun.
Lihat saja Amerika. Saat negara-negara lain seperti Prancis dengan CCF-nya dan Jerman dengan Gothe Institute-nya berjuang keras agar orang mau menonton film-film mereka, Amerika tanpa susah payah telah mendapatkan jutaan pelanggan setia lewat Hollywood-nya. Melalui film-film Hollywood lah kebudayaan Amerika, berikut cara hidupnya, diekspor ke berbagai negara. “Pusat kebudayaan Amerika adalah 21 dan XXI,” kata Riri.
Bagaimana dengan Indonesia? Harus diakui bahwa film-film Indonesia masih belum banyak yang go international. Namun bukan berarti Indonesia tidak bisa. Potensi sebenarnya ada, dan sangat bisa dioptimalkan jika ada kemauan. Pengalaman pribadi bercerita kepada Riri.
Beberapa filmnya telah melanglang buana ke berbagai negara lewat festival-festival film internasional. Ada juga sutradara-sutradara yang di dalam negeri kurang begitu dikenal namun karyanya telah dinikmati oleh publik pecinta film di luar negeri.
Di sinilah kolaborasi antara aktor-aktor swasta dan pemerintah bisa dimanfaatkan. Pemerintah melalui perwakilan-perwakilan yang ada di seluruh dunia bisa menjadi supporting actors yang mendukung pengenalan film-film Indonesia di luar negeri. Peran tersebut, menurut alumnus IKJ tahun 1992 ini, belum dimainkan secara maksimal.
Padahal jika wahana film ini bisa digunakan secara optimal, banyak manfaat akan diperoleh Indonesia, salah satunya di bidang pariwisata.
“Sebagai ilustrasi, kunjungan wisatawan ke Belitung meningkat tajam setelah film Laskar Pelangi diputar. Dulu waktu kita syuting susah sekali mencari hotel di sana. Sekarang sangat gampang orang cari hotel. Penerbangan ke Belitung dulu cuma sekali sehari, sekarang tiga kali sehari,” tutur sineas muda yang tengah menggarap film Bumi Manusia ini.
Salah satu yang bisa dilakukan perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri adalah mengadakan pameran atau festival film Indonesia. Mengenai ini, Azis Nurwahyudi, diplomat yang pernah ditugaskan di Praha dan berpengalaman menggelar pameran film Indonesia, memberikan tips-tipsnya. “Yang paling penting adalah menentukan tema pameran,” kata Azis.
Tema ini krusial supaya pameran itu memiliki fokus dan tujuan tertentu sehingga lebih efektif dalam menyampaikan message kepada pengunjung. Setelah tema ditentukan, kemudian pikirkan strategi promosinya. Promosi ini menjadi kunci karena akan menentukan berapa orang akan menghadiri pameran. “Gunakan berbagai medium seperti poster, milis, dan terutama radio,” imbuhnya.
Faktor tempat penyelenggaraan juga harus diperhitungkan karena akan memengaruhi animo masyarakat untuk datang. Agar acara itu memiliki gaung kredibilitas, sangat penting untuk menggandeng tokoh setempat yang bisa menjadi patron acara. Semakin dikenal dan dihormati tokoh tersebut, semakin baik. Dan, ini yang harus dicatat, “Uang bukan yang paling penting. Kita bisa mencari sponsor. Jadi jangan menganggap ketiadaan dana sebagai kendala,” ujar Azis meyakinkan.
Bibiliografi tentang perfilman Indonesia:
1. Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order.
2. Salim Said, Shadow of the Silver Screen.
3. JB Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2997.
4. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa.
5. http://filmindonesia.or.id/
6. http://www.sinematekindonesia.com/
• VIVAnews